A. Pengertian BMT
Baitul
Mal Wa Tamwil (BMT) terdiri dari dua istilah, yaitu baitul mal dan baitut
tamwil. Baitul maal lebih
mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non profit,
seperti zakat, infak dan shodaqoh. Sedangkan baitut
tamwil sebagai usaha pengumpulan dan dan penyaluran dana komersial
(Prof. H A. Djazuli:2002).
B. Sejarah BMT
Di
Indonesia sendiri setelah berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) timbul
peluang untuk mendirikan bank-bank yang berprinsip syariah. Operasinalisasi BMI
kurang menjangkau usaha masyakat kecil dan menengah, maka muncul usaha untuk
mendirikan bank dan lembaga keuangan mikro, seperti BPR syariah dan BMT yang
bertujuan untuk mengatasi hambatan operasioanal daerah.
Disamping
itu di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang hidup serba berkecukupan muncul
kekhawatiran akan timbulnya pengikisan akidah. Pengikisan akidah ini bukan
hanya dipengaruhi oleh aspek syiar Islam tetapi juga dipengaruhi oleh lemahnya
ekonomi masyarakat. Oleh sebab itu peran BMT agar mampu lebih aktif dalam
memperbaiki kondisi tersebut.
Propinsi
Lampung BMT mulai ada dengan dirintisnya Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil
(PINBUK), maka pada Tahun 1996 Lahirlah BMT Swadaya dengan berdiri 30 BMT.
Sedang pada tahun 1998 dengan bantuan Pemerintah propinsi ketika itu membantu
berdirinya 17 BMT, berkembang kembali pada tahun 1999 dengan melahirkan 60 BMT
serta diberi modal lima ratus ribu per BMT. Di tahun yang sama muncul 75 BMT
dengan pemberian modal sebesar satu koma lima juta rupiah tiap BMT. Pada Tahun
selanjutnya Pemerintah juga memberi bantuan modal terhadap 60 BMT yang baru
berdiri dengan kisaran modal yang sama. Pada tahun 2002 lahir lagi 60 BMT di
Propinsi Lampung dengan pemberian modal awal dua juta rupiah tiap BMT. Dengan
berjalannya waktu lahirlah BMT-BMT baru dan berkembang dengan baik seperti BMT
As Syifa di Metro, BMT Mentari di Kota Gajah, BMT Pringsewu, BMT Bagas di
Lampung Timur, dan BMT Fajar di Metro.
Sedangkan
di Kota Metro sendiri sejarah berdirinya BMT di mulai dengan berdirinya BMT Al
Ihsan pada bulan Oktober 1994, Lalu berdiri BMT Bina Rahmat oleh Bapak Yulianto
pada tahun 1995. Di tahun yang sama berdiri BMT Fajar. Lalu pada Desember 1998
berdiri BMT diantaranya adalah BMT At Taufik, BMT Al Hikmah, BMT Al Mukhsin yang
mendapat modal melalui dana bergilir. Pada tahun 2000 berdiri BMT diantaranya
Al Muttaqin, BMT Westra.
C. Pengertian Lembaga
Keuangan Non Bank
Pengertian
lembaga keuangan non bank yakni organisasi ekonomi yang berbentuk selain bank
(Heri Sudarsono:2005)
D. Macam-Macam Lembaga
Keuangan syariah Non Bank
Dibentuknya:
1.
Baitul Maal Wattamwil dan koperasi Pondok Pesantren
Lembaga
ini didirikan dengan maksud untuk memfasilitasi masyarakat bawah yang tidak
terjangkau oleh pelayanan bank syariah atau BPR syariah. Prinsip operasinya
didasarkan atas prinsip bagi hasil, jual-beli (itjarah) dan titipan (wadiah).
2.
Asuransi Syariah (takaful)
Asuransi
syariah menggantikan prinsip bunga dengan prinsip dana kebajikan (tabarru’),
dimana sesame umat di tuntut untuk saling tolong menolong ketika saudara
mengalami musibah.
3.
Reksadana Syariah
Reksadana
syariah mengganti system deviden dengan bagi hasil mudharabah dan hanya
mempertimbangkan investasi-investasi yang halal sebagai portofolionya.
4.
Pasar Modal Syariah
Sebagaimana
reksadana syariah, pasar modal syariah juga menggunakan prinsip yang sama.
5.
Pegadaian Syariah (Rahn)
Lembaga
ini menggunakan system jasa administrasi dan bagi-hasil untuk menggantikan
prinsip bunga.
6.
Lembaga Zakat, Infak, Shadaqah dan Waqaf
Lembaga
ini merupakan lembaga yang hanya ada dalam system keuangan Islam, karena Islam
mendorong umatnya untuk menjadi sukatelawan dalam
21
beramal (volunteer). Dana ini hanya bisa di alokasikan untuk kepentingan social
atau peruntukan yang telah digariskan menurut syariah Islam.
E. Pengertian Lembaga Keuangan syariah.
Menurut
Heri Sudarsono (2006) Bank dan Lembaga Keuangan Syariah merupakan Organisasi
ekonomi yang berdasar pada syari`ah Islam dan didirikan oleh umat Islam.
F. Peran Lembaga Keuangan syariah non Bank
Untuk
mewujudkan masyarakat adil dan efisien, maka setiap tipe dan lapisan masyarakat
harus terwadahi, namun perbankan belum bisa menyentuh semua lapisan masyarakat,
sehingga masih terdapat kelompok masyarakat yang tidak terfasilitasi yakni:
1.
Masyarakat yang secara legal dan administrative tidak memenuhi kriteria
perbankan. Prinsip kehati-hatian yang diterapkan oleh bank menyebabkan sebagian
masyarakat tidak mampu terlayani. Mereka yang bermodal kecil dan penghindar
resiko tersebut, jumlahnya cukup signifikan dalam Negara-negara muslim seperti
Indonesia, yang sebenarnya secara agregat memegang dana yang cukup besar.
2.
Masyarakat yang bermodal kecil namun memiliki keberanian dalam mengambil resiko
usaha. Biasanya kelompok masyarakat ini akan memilih reksa dana atau mutual
fund sebagai jalan investasinya.
3.
Masyarakat yang memiliki modal besar dan keberanian dalam mengambil resiko
usaha. Biasanya kelompok ini akan memilih pasar modal atau investasi langsung
sebagai media investasinya.
4.
Masyarakat yang menginginkan jasa keuangan non-investasi, misalnya
pertanggungan terhadap resiko kekurangan likuiditas dalam kasus darurat,
kebutuhan dana konsumtif jangka pendek, tabungan hari tua, dan sebagainya.
Kesemua produk tersebut tidaklah ditawarkan oleh perbankan (karena regulasi
perbankan yang juga membatasinya). Sebagai alternatifnya, kelompok masyarakat
tersebut akan menggunakan jasa asuransi, pegadaian dan dana pension sebagai
pilihan investasinya.
G. Beberapa Fungsi BMT
1.
Penghimpun dan penyalur dana, dengan menyimpan uang di BMT, uang tersebut dapat
ditingkatkan utilitasnya, sehingga timbul unit surplus (pihak yang memiliki
dana berlebih) dan unit defisit (pihak yang kekurangan dana).
2.
Pencipta dan pemberi likuiditas, dapat menciptakan alat pembayaran yang sah
yang mampu memberikan kemampuan untuk memenuhi kewajiban suatu
lembaga/perorangan.
3.
Sumber pendapatan, BMT dapat menciptakan lapangan kerja dan memberi pendapatan
kepada para pegawainya.
4.
Pemberi informasi, memberi informasi kepada masyarakat mengenai risiko
keuntungan dan peluang yang ada pada lembaga tersebut.
H. Teori Dana BMT
1.
Pengertian Dana BMT
Dana
BMT atau Financeable Fund adalah sejumlah uang yang dimiliki dan dikuasai suatu
BMT dalam kegiatan operasionalnya. Dana BMT ini terdiri dari :
1.
Dana Pihak Pertama
Yaitu
dana yang berasal dari pemilik berupa modal dan hasil usaha BMT.
2.
Dana Pihak Kedua
Yaitu
dana yang berasal dari instrumen pasar uang dan instrumen pasar modal.
3.
Dana Pihak Ketiga
Yaitu
dana yang berasal dari penghimpunan dana BMT berupa giro (nasabah), tabungan,
deposito berjangka, sertifikat deposito berjangka, kewajiban segera lainnya.
2.
Fungsi Dana BMT
Dana
BMT memiliki fungsi yakni:
1.
Sebagai sumber dana biaya operasional BMT
2.
Sumber dana untuk investasi primer dan sekunder BMT
3.
Sebagai penyangga (cushion) dan penyerap kerugian BMT bersangkutan
4.
Sebagai tolok ukur besar kecilnya suatu BMT
5.
Untuk menarik masyarakat yang kelebihan dana agar menabungkan uangnya di BMT
bersangkutan
6.
Untuk memperbesar solidaritas masyarakat terhadap BMT bersangkutan
7.
Untuk memperbesar daya saing BMT bersangkutan
8.
Untuk mempermudah penarikan dan peningkatan sumber daya manusia
9.
Untuk memperbanyak pembukaan kantor cabang
10.
Sebagai tool of management bagi manajer BMT
I. Produk Penghimpunan
Dana
Pada
sistem operasional BMT syariah, pemilik dana menanamkan uangnya di BMT tidak
dengan motif mendapatkan bunga, tetapi dalam rangka mendapatkan keuntungan bagi
hasil. Produk penghimpunan dana lembaga keuangan syariah adalah (Himpunan Fatwa
DSN-MUI, 2003):
1.
Giro Wadiah
Giro
Wadiah adalah produk simpanan yang bisa ditarik kapan saja. Dana nasabah
dititipkan di BMT dan boleh dikelola. Setiap saat nasabah berhak mengambilnya
dan berhak mendapatkan bonus dari keuntungan pemanfaatan dana giro oleh BMT.
Besarnya bonus tidak ditetapkan di muka tetapi benar-benar merupakan
kebijaksanaan BMT. Sungguhpun demikian nominalnya diupayakan sedemikian rupa
untuk senantiasa kompetitif (Fatwa DSN-MUI No. 01/DSN-MUI/IV/2000).
2.
Tabungan Mudharabah
Dana
yang disimpan nasabah akan dikelola BMT, untuk memperoleh keuntungan.
Keuntungan akan diberikan kepada nasabah berdasarkan kesepakatan nasabah.
Nasabah bertindak sebagai shahibul mal dan lembaga keuangan syariah bertindak
sebagai mudharib (Fatwa DSN-MUI No. 02/DSN-MUI/IV/2000).
3.
Deposito Mudharabah
BMT
bebas melakukan berbagai usaha yang tidak bertentangan dengan syariah dan
mengembangkannya. BMT bebas mengeola dana (Mudharabah Mutaqah). BMT berfungsi
sebagai mudharib sedangkan nasabah juga shahibul maal. Ada juga dana nasabah
yang dititipkan untuk usaha tertentu. Nasabah memberi batasan
penggunn
dana untuk jenis dan tempat tertentu. Jenis ini disebut Mudharabah Muqayyadah.
J.
Produk Pembiayaan
Dalam
melaksanakan kegiatan pembiayaan, BMT syariah menempuh mekanisme bagi hasil
sebagai pemenuhan kebutuhan permodalan (equity financing) dan investasi
berdasarkan imbalan melalui mekanisme jual-beli (bai’) sebagai pemenuhan
kebutuhan pembiayaan (debt financing) (Zainul arifin ,1999)
Gambar
2. Bagan Akad
1.
Equity Financing
Ada
dua macam dalam kategori ini, yaitu :
a)
Pembiayaan Musyarakah (Join Venture Profit Sharing)
Pembiayaan
Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha
tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan
kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan (Himpunan Fatwa DSN-MUI, 2003 : 50).
Dari
pengertian di atas, dapat dilihat ciri-ciri dari perjanjian/akad musyarakah,
yaitu kontribusi dana berasal dari dua pihak (BMT dan nasabah) dan bagi hasil
berdasarkan kontribusi modal. Dalam musyarakah, kepemilikan dua orang atau
lebih terbagi dalam sebuah aset nyata. Dalam hal pengelolaan usaha, pihak BMT
diikutsertakan atau dilibatkan dalam proses manajemen.
Aplikasi
BMT untuk akad musyarakah adalah (M. Syafi’i Antonio, 1999:197):
1.
Pembiayaan Proyek. Nasabah dan BMT sama-sama menyediakan dana untuk membiayai
proyek. Setelah proyek selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama
bagi hasil yang telah disepakati bersama.
2.
Modal Ventura. Pada BMT-BMT yang dibolehkan melakukan investasi dalam
kepemilikan perusahaan, musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura.
Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu BMT melakukan
divestasi, baik secara singkat maupun bertahap.
b)
Pembiayaan Mudharabah (Trustee Profit Sharing)
Pembiayaan
Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama
(shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola dan keuntungan usaha dibagi sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan
dalam kontrak (Himpunan Fatwa DSN-MUI, 2003 : 40).
Di
dalam mudharabah hubungan kontrak bukan antara pemberi modal, melainkan antara
penyedia dana (shahibul maal) dengan enterpreneur (mudharib)( Zainul Arifin,
1999 ).
Dari
kedua pengertian diatas dapat dilihat bahwa BMT menanggung seluruh modal
sedangkan nasabah hanya memiliki modal keahlian (tetapi tidak mempunyai dana).
Keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan sedangkan kerugian seluruhnya
ditanggung oleh pemilik modal (BMT) selam bukan akibat kelalaian si pengelola.
Aplikasi
dalam BMT untuk mudharabah dari sisi pembiayaan adalah:
1.
Pembiayaan Modal Kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa.
2.
Investasi khusus (mudharabah muqayyadah), dimana sumber dana khusus dengan
penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang tetapkan oleh shahibul mal.
2.
Debt Financing
Debt
Financing dilakukan dengan teknik jual-beli. Pengertian bai’ meliputi berbagai
kontrak pertukaran barang dan jasa dalam jumlah tetentu atas barang dan jasa
bersangkutan (Zainul arifin, 1999 ).
Penyerahan
jumlah barang atau jasa dapat dilakukan dengan segera (cash) atau dengan
tangguh (deferred).
Bentuk
dari Debt Financing adalah sebagi berikut :
a)
Murabahah
BMT
membeli barang kemudian menjualnya kepada nasabah dengan harga jual senilai
harga beli plus keuntungannya. BMT harus memberi
tahu
secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati dalam jangka waktu tertentu
(Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000).
Dalam
hal ini BMT bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Dalam
murabahah penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan
suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.
Sistem
ini diterapkan pada produk pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi,
baik domestik maupun luar negeri, seperti melalui letter of credit (L/C).
Skema ini paling banyak digunakan karena sederhana dan tidak terlalu asing bagi
yang sudah biasa bertransaksi dengan dunia BMT pada umumnya.
b)
Bai’ as-salam
Bai’
as-salam jual beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih
dahulu dengan syarat-syarat tertentu. Pembayaran hrus dilakukan pada saat
kontrak disepakati. Waktu penyerahan barang ditetapkan berdasarkan kesepakatan
dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati pula (Himpunan Fatwa DSN-MUI,
2003 : 30).
Dalam
aplikasi BMT, transaksi ini biasanya dipergunakan untuk pembiayaan pertanian
jangka pendek seperti padi, jagung, dan cabai serta untuk pembiayaan barang
industri seperti produk garmen (pakaian jadi).
c)
Bai’ al-istishna’
Bai’
al-istishna merupakan akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang
tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara
pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani)(Himpunan Fatwa
DSN-MUI, 2003 : 36).
Transaksi
Bai’ al-istishna biasanya dipakai untuk pembiayaan konstruksi dan barang-barang
manufaktur jangka pendek. Kontrak Bai’ al-istishna walaupun kelihatan sama
dengan bai’ as-salam tetapi berbeda.
e)
Al Ijarah
Ijarah
adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa dalam waktu tertentu
melalui pembayaran upah atau sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
atas barang itu sendiri (Himpunan Fatwa DSN-MUI, 2003 : 58).
Dalam
transaksi ijarah , BMT menyewakan suatu aset yang sebelumnya telah dibeli oleh
BMT kepada nasabahnya untuk jangka waktu tertentu dengan jumlah sewa yang telah
disetujui di muka.
Aplikasi
dalam BMT untuk sistem ini adalah Leasing, baik dalam bentuk operating lease
maupun financial finance.
Pemberian
suatu fasilitas Pembiayaan mempunyai tujuan tertentu. Tujuan pemberian
Pembiayaan tersebut tidak akan terlepas dari misi BMT tersebut didirikan.
Adapun tujuan utama pemberian suatu Pembiayaan antara lain :
1.
Mencari keuntungan
Yaitu
bertujuan untuk meperoleh hasil dari pemberian Pembiayaan tersebut. Hasil
tersebut terutama dalam bentuk bunga yang diterima oleh BMT sebagai balas jasa dan
biaya administrasi Pembiayaan yang dibeBMTan kepada nasabah.
2.
Membantu usaha nasabah
Yaitu
untuk membantu usaha nasabah yang memerlukan dana, baik dana investasi maupun
dana untuk modal kerja. Dengan dana tersebut, maka pihak debitur akan dapat
mengembangkan dan memperluaskan usahanya.
3.
Membantu pemerintah
Bagi
pemerintah semakin banyak pembiayaan yang disalurkan oleh pihak BMT, maka
semakin baik, mengingat semakin banyak Pembiayaan berarti adanya peningkatan
pembangunan di berbagai sektor. Disamping tujuan di atas, suatu fasilitas
Pembiayaan memiliki fungsi sebagai berikut :
a.
Untuk meningkatkan daya guna uang.
Dengan
adanya Pembiayaan dapat meningkatkan daya guna uang maksudnya jika hanya
disimpan saja tidak akan menghasilkan sesuatu yang berguna.
b.
Untuk meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang
Dalam
hal ini uang diberikan atau disalurkan akan beredar dari suatu wilayah ke
wilayah lainnya sehingga, suatu daerah yang kekurangan uang dengan memperoleh
Pembiayaan maka daerah tersebut akan memperoleh tambahan uang dari daerah
lainnya.
c.
Untuk meningkatkan daya guna barang.
Pembiayaan
yang diberikan oleh BMT akan dapat digunakan oleh debitur untuk mengolah barang
yang tidak berguna menjadi barang berguna atau bermanfaat.
d.
Meningkatkan peredaran barang.
Pembiayaan
dapat pula menambah atau memperlancar arus barang dari satu wilayah ke wilayah
lainnya, sehingga jumlah barang yang beredar dari satu wilayah ke wilayah lain
bertambah atau Pembiayaan dapat pula meningkatkan jumlah barang yang beredar.
e.
Sebagai alat stabilitas ekonomi.
Dengan
memberikan Pembiayaan dapat dikatakan sebagai stabilitas ekonomi karena dengan
adanya Pembiayaan yang diberikan akan menambah jumlah barang yang diperlukan
oleh masyarakat.
f.
Untuk meningkatkan kegairahan berusaha.
Bagi
penerima Pembiayaan tentu akan dapat meningkatkan kegairahan berusaha, apalagi
bagi si nasabah yang memang modalnya pas-pasan.
g.
Untuk meningkatkan pemerataan pendapatan.
Semakin
banyak Pembiayaan yang disalurkan maka akan semakin baik, terutama dalam hal
meningkatkan pendapatan.
h.
Untuk meningkatkan hubungan internasional.
Dalam
hal pinjaman internasional akan dapat meningkatkan saling membutuhkan antara si
penerima pembiayaan dengan si pemberi Pembiayaan.
K.
Produk Jasa
Di
samping produk pembiayaan, BMT syariah juga mempunyai produk-produk jasa atau
pelayanan. Produk ini juga merupakan penerapan dari akad-akad syariah. Produk
jasa yang lazim diterapkan BMT syariah diantaranya adalah (Himpunan Fatwa
DSN-MUI, 2003) :
a)
Wakalah
Wakalah
berarti pelimpahan kekuasan dari satu pihak ke pihak lain dalam hal-hal yang
boleh diwakilkan (Himpunan Fatwa DSN-MUI, 2003 : 66). Prinsip perwakilan
diterapkan dalam BMT syariah dimana BMT bertindak sebagai wakil dan nasabah
sebagai pemberi wakil (muwakil).(M. Syafi’i Antonio, 1999:252).
Prinsip
ini diterapkan untuk pengiriman uang atau transfer, penagihan
(collection/inkasso), dan letter of credit (L/C). Sebagai imbalan, BMT
mengenakan fee atau biaya atas jasanya terhadap nasabah.
b)
Kafalah
Kafalah
berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada
tanggung jawab orang lain sebagai penjamin (M. Syafi’i Antonio, 1999:231).
Dalam
pengertian lain, kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung
kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.
Prinsip
penjaminan yang diterapkan oleh BMT syariah di mana BMT bertindak sebagai
penjamin sedangkan nasabah sebagai pihak yang dijamin. Seperti halnya dalam
wakalah, untuk jasa al kafalah BMT syariah pun mendapat bayaran dari
nasabahnya.
c)
Hawalah
Hawalah
adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib
menanggungnya(M. Syafi’i Antonio, 1999:201).
Prinsip
ini diterapkan oleh BMT syariah di mana BMT bertindak sebagai penerima pengalihan
piutang dan nasabah bertindak sebagai pengalih piutang. Untuk jasa ini BMT
syariah mendapatkan upah pengalihan dari nasabah.
Aplikasi
dalam BMT untuk jasa ini adalah factoring atau anjak piutang, post-date check,
bill discounting.
d)
Rahn
Rahn
adalah menahan harta milik si peminjam sebagi jaminan atas pinjama yang
diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis (M. Syafi’i
Antonio, 1999:213 ).
Dalam
jasa ini pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh
atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah
semacam jaminan hutang atau gadai.
e)
Qardh
Qardh
adalah pinjamam yang diberikan kepada nasabah yang memerlukan. Nasabah wajib
mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati
bersama (Himpunan Fatwa DSN-MUI, 2003 : 111).
Penerapannya
produk ini adalah :
1.
Sebagai produk pelengkap kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas dan
bonafiditasnya yang membutuhkan dana talangan segera untuk masa yang relatif pendek.
Nasabah tersebut akan mengembalikan secepatnya sejumlah uang yang
dipinjamkannya itu
2.
Sebagai fasilitas nasabah yang memerlukan dana cepat sedangkan ia tidak bisa
menarik dananya karena, misalnya tersimpan dalam bentuk deposito.
3.
Sebagai produk untuk menyumbang usaha sangat kecil atau membantu sektor sosial.
Guna pemenuhan skema khusus ini telah dikenal suatu produk khusus yaitu qardhu
hasan.
f)
Sharf
Sharf
adalah transaksi pertukaran antara emas dan perak atau pertukaran valuta asing,
dimana mata uang asing dipertukarkan dengan mata uang domestik atau dengan mata
uang asing lainnya.
L.
Teori Non-Performing Finance
1.
Pengertian Non-Performing Finance
Non-Performing
Finance atau Pembiayaan macet secara umum adalah Pembiayaan yang tidak lancar
atau Pembiayaan dimana debiturnya tidak
memenuhi
persyaratan yang diperjanjikan, misalnya persyaratan mengenai pengembalian
pokok pinjaman, peningkatan margin deposit, pengikatan dan peningkatan agunan
dan sebagainya. Dalam pengertian khusus atau menurut BMT, BMT yang konservatif
melihat Pembiayaan atau pinjamanan yang diberikannya sebagai aset yang berisiko
(risk asset) dan karenanya BMT harus mengelola risiko yang melekat pada proses
pemberian pinjaman. BMT semacam ini mengganggap bahwa laporan keuangan yang
seharusnya dihasilkan oleh debitur untuk disampaikan kepada BMTnya, sebagai
salah satu pengelola berisiko. Sarana untuk risk management ini tidak ada, maka
Pembiayaannya menjadi bermasalah.
2.
Faktor-faktor penyebab Non-Performing Finance (NPF)
Dalam
menjalankan fungsinya sebagai penyalur dana kepada masyarakat, maka BMT sebagai
lembaga perPembiayaanan, harus melakukan analisis melalui prinsip 5 C, guna
meminimalkan risiko bermasalahnya atau tidak kembalinya Pembiayaan. Kelima
prinsip tersebut meliputi :
1.
Character
Keyakinan
pihak BMT bahwa si peminjam mempunyai moral, watak, ataupun sifat-sifat pribadi
yang positip dan koperatip dan juga mempunyai rasa tanggung jawab baik dari
kehidupan pribadi sebagai manusia, kehidupan sebagai anggota masyarakat ataupun
dalam menjalankan kegiatan usahanya.
2.
Capacity
Suatu
penilaian kepada calon debitur mengenai kemampuan melunasi
kewajiban-kewajibannya dari kegiatan usaha yang dilakukannya atau kegiatan
usaha yang akan dilakukannya yang akan dibiayai dengan Pembiayaan dari BMT.
Jadi jelaslah maksud dari penilaian terhadap capacity ini untuk menilai sampai
dimana hasil usaha yang akan diperolehnya tersebut, akan mampu untuk
melunasinya tepat waktu sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya.
3.
Capital
Penilaian
terhadap jumlah dana atau modal sendiri yang dimiliki oleh calon debitur. Hal
ini kelihatannya kontradiktip dengan tujuan Pembiayaan yang berfungsi sebagai
penyedia dana. Namun memang demikianlah halnya dalam kaitan bisnis murni,
semakin kaya seseorang ia akan dipercaya untuk memperoleh Pembiayaan.
4.
Collateral
Suatu
penilaian terhadap barang-barang jaminan yang diserahkan oleh peminjam atau
debitur sebagai jaminan atas Pembiayaan yang diterimanya. Manfaat collateral
yaitu sebagai alat pengamanan apabila uasaha yang dibiayai dengan Pembiayaan
tersebut gagal atau sebab lain dimana debitur tidak mampu melunasi
Pembiayaannya dari hasil usahanya yang normal.
5.
Condition of economy
Condition
of economy yaitu adalah situasi dan kondisi politik, sosial, ekonomi, budaya,
dan lain-lain yang mempengaruhi kondisi perekonomian pada suatu saat
maupun
untuk suatu kurun waktu tertentu yang kemungkinannya akan dapat mempengaruhi
kelancaran usaha dari perusahaan yang memperoleh Pembiayaan.
Banyak
faktor yang menyebabkan Pembiayaan tersebut menjadi bermasalah. Faktor-faktor
penyebab terjadinya Pembiayaan bermasalah, yaitu :
a.
Faktor internal BMT
b.
Faktor internal nasabah
c.
Faktor eksternal
d.
Faktor kegagalan bisnis
e.
Faktor ketidakmampuan manajemen
M. Pengertian Financing to
Deposit Ratio (FDR)
Secara
umum BMT dipahami sebagai financial intermediary institution atau lembaga
perantara keuangan dari dua pihak yaitu pihak yang kelebihan dana dan pihak
yang kekurangan dana.
Setelah
mengetahui pengertian dari sisi penggumpulan dana dan sisi penyaluran
Pembiayaan, maka dapat diukur kinerja BMT sebagai lembaga intermediasi. Salah
satu tolak ukur dalam rangka mengukur kinerja BMT khususnya yang berkenaan
dengan pelaksanaan fungsi intermediasi adalah dengan menggunakan Finance to
Deposit Ratio (FDR), yaitu perbandingan atau ratio antara Dana Pihak Ketiga
(DPK) yang berhasil dihimpun oleh BMT (pelaksanaan fungsi intermediasi
penghimpunan dana) terhadap penyaluran dana dalam bentuk Pembiayaan
(pelaksanaan fungsi penyaluran dana).
N. Intermediasi BMT
Alat
ukur utama yang selama ini digunakan untuk mengukur kinerja BMT khususnya
berkenaan dengan pelaksanaan fungsi intermediasi BMT adalah Finance to deposit
ratio (FDR), yaitu perbandingan atau rasio antara dana pihak ketiga (DPK) yang
berhasil dihimpun oleh BMT (pelaksanaan fungsi intermediasi penghimpunan dana)
terhadap penyaluran dana dalam bentuk Pembiayaan (pelaksanaan fungsi penyaluran
dana). Dilihat dari komponen pembentuknya FDR merupakan suatu ukuran ideal yang
dapat digunakan untuk mengukur kinerja BMT sebagai lembaga intermediasi
(Abdullah, 2003 : 16).
Finance
to deposit Ratio (FDR) adalah suatu pengukuran tradisional yang menunjukkan
deposito berjangka, giro, tabungan, dan lain lain yang digunakan dalam memenuhi
permohonan pinjaman nasabahnya. Rasio ini menggambarkan sejauh mana simpanan
digunakan untuk pemberian pinjaman. Rasio ini juga dapat digunakan untuk
mengukur tingkat likuiditas.. Definisi ini masih bersifat umum karena lebih
lanjut dijelaskan bahwa setiap pemberian Pembiayaan disertai dengan klausa
perjanjian.
Fungsi
intermediasi BMT bertolak ukur kepada Finance to Deposit Ratio (FDR). FDR
adalah suatu pengukuran tradisional yang menunujukkan deposito berjangka, giro,
tabungan, dan lain-lain yang digunakan dalam memenuhi permohonan pinjaman
(Finance requests) nasabahnya. Rasio ini menggambarkan sejauh mana simpanan
digunakan untuk pemberian pinjaman. Rasio ini juga dapat mengukur tingkat
likuiditas.
Rasio
yang tinggi menunjukkan bahwa suatu BMT meminjamkan seluruh dananya
(Finance-up) atau relatif tidak likuid (illiquid). Sebaliknya rasio yang rendah
menunjukkan BMT yang likuid dengan kelebuhan kapasitas dana yang siap untuk
dipinjamkan. Oleh karena itu, rasio ini juga dapat memberi isyarat apakah suatu
pinjaman masih dapat mengalami ekspansi atau sebaliknya harus dibatasi.
Secara
umum, BMT yang besar cenderung mempunyai FDR yang lebih besar dibanding BMT
yang kecil. Meskipun tidak demikian tidak berlaku untuk BMT kecil yang terletak
di daerah pertanian, karena BMT itu mempunyai FDR sangat tinggi, bahkan kadang
bisa lebih dari 100%.
Dalam
pengertian sehari-hari seperti sering diucapkan oleh banyak kalangan bahwa
akhir-akhir ini yang dapat dilihat pada indikator FDR umumnya hanya isi
komponen yang sangat sederhana. Sebagai indikator pinjaman adalah jumlah atau
posisi pinjmanan yang diberikan, sebagaiman tercantum pada sisi aktiva. Sebagai
indikator pada simpanan adalah giro, deposito, tabungan yang masing-masing
tercantum pada sisi passiva neraca BMT. Kedua komponen tersebut dalam bentuk
rupiah.
Tujuan
perhitungan FDR adalah untuk mengetahui serta menilai sampai berapa besar jauh
suatu BMT memiliki kondisi sehat dalam menjalankan operasi atau kegiatan
usahanya. Dengan kata lain FDR digunakan sebagai indikator untuk mengetahui
tingkat kerawanan suatu BMT.
O. Keunggulan dan
Kelemahan antara BMT dengan Perbankan Konvensional
BMT
sebagai alternatif Bank-bank konvensional, memiliki keunggulan-keunggulan yang
juga merupakan perbedaan dan perbandingan jika dengan perbankan konvensional.
Disamping hal tersebut muncul juga kelemahan-kelemahan karena sebagai pemain
baru dalam dunia lembaga keuangan.
Keunggulan
BMT adalah:
1.
BMT Islam memiliki dasar hukum operasional yakni Al Qur’an dan Al Hadist.
Sehingga dalam operasionalnya sesuai dengan prinsip-prinsip dasar seperti
diperintahkan oleh Allah SWT, juga nilai dasar seperti yang dicontohkan
Rasulullah SAW.
2.
BMT Islam mendasarkan semua produk dan operasinya pada prinsip-prinsip
efisiensi, keadilan, dan kebersamaan.
3.
Adanya kesamaan ikatan emosional keagamaan yang kuat antara pemegang saham,
pengelola, dan nasabah, sehingga dapat dikembangkan kebersamaan dalam
menghadapi resiko usaha dan membagi keuntungan secara jujur dan adil.
4.
Adanya keterikatan secara religi, maka semua pihak yang terlibat dalam BMT
Islam akan berusaha sebaik-baiknya sebagai pengalaman ajaran agamanya sehingga
berapa pun hasil yang diperoleh diyakini membawa berkah.
5.
Adanya fasilitas pembiayaan (Al Mudharabah dan Al Musyarakah) yang tidak
membebani nasabah sejak awal dengan kewajiban membayar biaya secara
tetap,
hal ini memberikan kelonggaran physichologis yang diperlukan nasabah untuk
dapat berusaha secara tenang dan bersungguh-sungguh.
6.
Adanya fasilitas pembiayaan (Al Murabahah dan Al Ba’i Bitsaman Ajil) yang lebih
mengutamakan kelayakan usaha dari pada jaminan (kolateral) sehingga siapa pun
baik pengusaha ataupun bukan mempunyai jaminan kesempatan yang luas untuk
berusaha.
7.
Tersedia pembiayaan (Qardu Hasan) yang tidak membebani nasabah dengan biaya
apapun, kecuali biaya yang dipergunakan sendiri:seperti bea materai, biaya
notaris, dan sebagainya. Dana fasilitas ini diperoleh dari pengumpulan zakat,
infak dan sadaqah, para amil zakat yang masih mengendap.
8.
Dengan diterapkannya sistem bagi hasil sebagai pengganti bunga, maka tidak ada
diskriminasi terhadap nasabah yang didasarkan atas kemampuan ekonominya
sehingga akseptabilitas BMT Islam menjadi luas.
9.
Dengan adanya sistem bagi hasil, maka untuk kesehatan BMT yang bisa diketahui
dari naik turunnya jumlah bagi hasil yang diterima.
10.
Dengan diterapkannya sistem bagi hasil, maka persaingan antar BMT Islam berlaku
wajar yang diperuntukkan oleh keberhasilan dalam membina nasabah dengan
profesionalisme dan pelayanan yang baik.
Kelemahan-kelemahan
serta permasalahan-permasalahan yang ada dalam BMT Islam (Warkum Sumitro, 1996)
adalah:
1.
Dalam operasional BMT Islam, pihak-pihak yang terlibat didasarkan pada ikatan
emosional keagamaan yang sama, sehingga antara pihak-pihak khususnya pengelola
BMT dan BMT harus saling percaya, bahwa mereka sama-sama beritikad baik dan
jujur dalam bekerjasama. BMT dengan sistem ini terlalu berprasangka baik kepada
semua nasabah dan berasumsi bahwa semua orang yang terlibat adalah jujur.
Dengan demikian, BMT Islam rawan terhadap mereka yang beritikad tidak baik
sehingga diperlukan usaha tambahan untuk mengawasi nasabah yang menerima
pembiayaan dari BMT Islam karena tidak dikenal bunga, denda keterlambatan dan
sebagainya.
2.
Sistem bagi hasil yang adil memerlukan tingkat profesionalisme yang tinggi bagi
pengelola BMT untuk membuat penghitungan yang cermat dan terus-menerus.
3.
Motivasi masyarakat muslim untuk terlibat dalam aktivitas BMT Islam adalah
emosi keagamaan, ini berarti tingkat efektifitas keterlibatan masyarakat muslim
dalam BMT Islam tergantung pada pola pikir dan sikap masyarakat itus sendiri.
4.
Semakin banyak umat Islam memanfaatkan fasilitas yang disediakn BMT Islam,
sementara belum tersedia proyek-proyek yang bisa di biayai sebagai akibat
kurangnya tenaga-tenaga profesional yang siap pakai, maka BMT Islam akan
menghadapi ”kelebihan likuiditas”.
5.
Salah satu misi BMT Islam yakni mengentaskan kemiskinan yang sebagian besar
kantong-kantong kemiskinan terdapat di pedesaan.
P.
Perbedaan Sistem Bagi Hasil dengan Sistem Bunga
Menurut
kamus, bunga adalah uang balas jasa atau ganti rugi yang diberikan kepada orang
yang telah meminjamkan uang atau modal (W. J. S. Poerwadarmita, 1991:165).
Menurut
Warkum Sumitro, 1996:12 Bunga dalam pengertian lain adalah:
”Bunga
adalah biaya yang dikenakan pada peminjam uang atau imbalan yang diberikan
kepada penyimpan yang besarnya telah ditetapkan dimuka, biasanya ditentukan
dalam bentuk persentase (%) dan terus dikenakan selama masih ada sisa simpanan
atau pinjaman sehingga tidak hanya terbatas pada jingka waktu kontrak”.
Q. Penilaian Resiko
Penilaian
risiko yang dihadapi pada pembiayaan Mudharabah/Musyarakah
dapat
dibagi menjadi 3 yakni:
1.
Faktor yg mempengaruhi Business Risk pada pembiayaan mudharabah maupun
musyarakah pada business risk yakni:
1.
Industry Risk, yaitu resiko yg terjadi pd jenis usaha yg ditentukan oleh :
a.
karakteristik masing-masing jenis usaha
b.
kinerja keuangan jenis usaha
2.
Faktor negatif yg mempengaruhi perusahaan misalnya:keadaan force majeure,
permasalahan hukum, pemogokan, market risk (forex risk, interset risk, security
risk)
2.
Sedangkan pada shrinkin risk yakni:
1.
Unusual Business Risk yaitu resiko bisnis yg luar biasa yg ditentukan oleh:
a.
Penurunan drastis tingkat penjualan bisnis yg dibiayai
b.
Penurunan drastis harga jual barang/jasa dari bisnis yg dibiayai
c.
Penurunan drastis harga barang/jasa dari bisnis yang di biayai
2.
Jenis bagi hasil yg ditentukan (profit and loss sharing atau revenue sharing)
a.
Profit & loss sharing ; shrinking risk muncul bila terjadi loss sharing yg
harus ditanggung oleh bank
b.
Revenue sharing, shrinking risk terjadi bila nasabah tidak mampu menanggung
biaya (nafaqah) yg seharusnya ditanggung nasabah, sehingga nasabah tidak mampu
melanjutkan usahanya
3.
Faktor yg mempengaruhi Character Risk yaitu:
1.
Kelalaian nasabah dalam menjalankan bisnis yg dibiayai bank
2.
Pelanggaran ketentuan yg telah disepakati
3.
Pengelolaan internal perusahaan yg tdk dilakukan secara profesional sesuai
standar pengelolaan yg disepakati antara bank dan nasabah
Sedangkan
Analisi terhadap pembiayaan terhadap suatu perusahaan bila dilihat terhadap
sales cost, profits, assets & liabilities serta cash flow yakni:
1.
Resiko yang Timbul dari Perubahan Kondisi Bisnis Nasabah Setelah Pencairan Pembiayaan
1.
Kebanyakan hal yang terjadi setelah pembiayaan telah cair yakni Over Trading
dengan kata lain too much business wuth too little capital sehingga krisis cash
flow (Uang kas)
2.
Adverse Trading yakni mengembangkan bisnis dengan fixed cost yg besar serta
bermain di pasar tidak stabil sehingga menimbulkan high risk.
3.
Liquidity Run yaitu kesulitan likuiditas karena kehilangan sumber pendapatan
dan dan peningkatan pengeluaran karena alasan yg tidak terduga
2.
Resiko yang Timbul dari Komitmen Kapital yang Berlebihan
Terjadi
apabila perusahaan mengambil komitmen kapital yg berlebihan dan menandatangani
kontrak untuk pengeluaran berskala besar.
3.
Resiko yang Timbul dari Lemahnya Analisis BMT
Analisis
Pembiayaan yang Keliru yakni Keputusan pembiayaan yang tidak valid karena
sumber informasi yang keliru.
Creative
Accounting adalah penggunakan kebijakan akuntansi perusahaan yang keterangan
menyesatkan tentang suatu laporan keuangan perusahaan.
Karakter
Nasabah yaitu pembiayaan macet yang disengaja oleh nasabah dengan memperdaya
petugas bank.
No comments:
Post a Comment