KUMPULAN CERITA PENDEK
www.ac-zzz .tk
Mantan
Melody
Muchransyah
Ical
langsung melotot, “Lebih baik gue dibantai dosen daripada ngerelain cewek gue
dibantai sama lo!” Pernah nggak kamu cemburu tanpa alasan yang jelas sama
mantannya cowok kamu? Bukannya parno, cuma... kok rasanya aneh aja ya, Ical mau
jadian sama gue setelah putus dari Ratih? Padahal, Ratih itu perfect abis!
Putih, mulus, tinggi, langsing... Wah, pokoknya tanpa cacat, deh! Duh, perasaan
gue jadi gak enak. Jangan-jangan gue cuma dijadiin pelariannya Ical?
Jangan-jangan Ical sebenernya masih sayang sama Ratih? Jangan-jangan...
***
”Kamu gila,
Manda!” Faisal berteriak geram,”Aku sama Ratih tuh udah nggak ada hubungan
apa-apa lagi. Kami sudah putus! End of story!” Manda memasang tampang cemberut. Tapi, ia tak berani berkata-kata. Ia
tau, perbuatannya memang agak melewati batas. Tapi, cemburu kan bukan dosa besar?
Malahan, Ical harusnya senang, donk, karena Manda punya rasa cemburu. Berarti,
Manda kan bener-bener sayang sama Ical!? ”Manda, aku kan udah bilang
berkali-kali sama kamu, kamu tuh nggak perlu cemburu sama Ratih. Ratih is my
history, Sayang...” Faisal meneruskan katakatanya, seakan dapat membaca pikiran
Manda.
Manda masih
cemberut. Huh, menyebalkan, pikirnya. Kalau memang Ical gak ada apa-apa lagi
dengan Ratih, seharusnya dia fine-fine aja, dong kalau Manda ngecek
e-mail-e-mail yang Ratih kirim ke Ical? Atau, jangan-jangan memang masih ada
sesuatu di antara mereka berdua? Ah, Manda harus cari tau. Pokoknya, Manda ngak
rela kalau Ical masih sayang sama Ratih!.
Minggu
siang, di kamarnya, Manda berkutat di depan komputer. Ia nampak sibuk meneliti
satu per satu e-mail yang ada di inbox Ical. Hah! Ada dua email baru dari
Ratih. Duh, dasar ganjen, udah putus tetep aja cari perhatian!, Manda
menggerutu di dalam hati. E-mail pertama. Nggak istimewa. Sebuah undangan reuni
SMP. Manda teringat, Ical dan Ratih memang teman satu SMP. Tapi mereka baru
jadian setelah lulus SMA. Itu pun karena mereka sama-sama satu kampus di Depok dan
harus pulang balik Depok-Bogor setiap hari naik kereta. Karena itu, mereka
dekat dan akhirnya jadian. Basi, cibir Manda. Gak elit. Jadian kok gara-gara
kereta!
E-mail
kedua. Sebuah surat berantai. Isinya membuat Manda naik pitam. Judulnya
sederhana: Juz wanna remind u that I luv u! Manda benar-benar ngamuk. Ia pun
segera menelepon Ical.
“Manda,
honey, kamu masih di sana, kan? Halo...” suara Faisal di telepon membuyarkan
lamunan Manda.
”Iya!” Manda
menjawab, masih sambil merengut. ”Kamu coba baca isinya dulu deh, Sayang...
Paling-paling itu cuma surat berantai mengenai friendship. Kamu gak usah
cemburu, oke?”
***
Manda
menatap bayangannya di cermin sambil tersenyum. Sempurna. Kemeja pink yang
manis dipadu dengan rok kotak-kotak berwarna ungu betul-betul membuat
penampilan Manda terlihat cute. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan mama
menengok ke dalam kamar. ”Man, Ical udah dateng, tuh!”. Manda cepat-cepat
memakai selop pink yang baru saja dibelinya minggu lalu, menyambar tas
selempangnya dan mencium tangan mama. “Aku pergi dulu ya, Ma!”
“Ati-ati,
ya, sayang.” Manda melangkah ke arah teras. Dia melihat Volvo hitam Ical sudah menunggunya
di sana. Manda pun masuk dan duduk di samping Ical yang sudah
siap di
belakang kemudi. “Kami pergi dulu, Tante,” Ical melambai ke arah mama Manda.
Setelah itu, ia melirik Manda. “Tuan putri cantik banget hari ini.” Manda
tersenyum ditahan. Sambil pura-pura cemberut, ia berkata, “Jadi, cantiknya cuma
hari ini? Kemarin-kemarin gak cantik, gitu?”
Ical
tertawa. Setelah memindahkan perseneling, ia memandang Manda, “Kamu tuh yang
paling cantik, sayang.”
“Gombal!”
maki Manda. Namun dalam hatinya, ia senang sekali mendapat pujian seperti itu. Mobil
Ical melaju di jalan tol yang mulus, menuju Depok. Hari ini Ical sebenarnya tak
ada kuliah, namun ia harus mengumpulkan tugas. Kebetulan Manda, yang sedang
libur karena guru-gurunya sedang rapat, mau menemani Ical ke kampus. Sekalian
jalan-jalan. Satu jam kemudian, Ical memarkir mobilnya di parkiran Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia.
“Ikut turun?”
ia bertanya pada Manda yang mengangguk penuh semangat. Ical pun berjalan ke
arah Taman Akademos sambil membawa map berisi tugas di tangan sebelah kiri,
sementara tangan kanannya digenggam mesra oleh Manda.
“Kampus kamu
besar, ya?” Manda memperhatikan sekeliling. Ical hanya tersenyum sambil terus
menggandeng tangan Manda. Mereka pun tiba di Taman Akademos, taman kebanggaan
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Tempat itu, selain sebagai
meeting-point, juga merupakan tempat nongkrong para mahasiswa. “Suit... suit...”
seorang mahasiswa menggoda Ical dan Manda saat mereka lewat, “Ical
gandeng-gandengan sama siapa nih?” Ical menepuk pelan punggung mahasiswa tadi
dengan map di tangan kirinya sambil tersenyum, “Di, lo udah ngumpulin tugas?”
Mahasiswa
bernama Adi tadi mengangguk bangga, “Oh, udah, donk!” Kemudian, dengan tampang
jahil, ia melirik Manda, “Siapa tuh?” “Ini Manda, cewek gue,” jawab Ical, “Manda,
kenalin nih temenku, Adi.” Adi dan Manda berkenalan sambil menyebutkan nama
masing-masing. “Udah ya, gue mau ke ruangan dosen dulu,” Ical berpamitan sambil
menarik Manda yang masih digandengnya. “Eh, entar dulu,” cegah Adi. “Lo mau ke
tempat dosen bawa-bawa cewek? Bisa dibantai lo! Mendingan cewek lo tinggal di
sini aja, sama gue.” “Enak aja!” Ical langsung melotot, “Lebih baik gue dibantai
dosen daripada ngerelain cewek gue dibantai sama lo!” Ical segera mengajak
Manda pergi secepatnya, meninggalkan Adi yang cemberut. Manda hanya bisa
geleng-geleng kepala sambil tersenyum geli.
***
“Mau pesen apa, sayang?”
Saat itu
Ical mengajak Manda makan siang di Takor alias Taman Korea, areal kantin FISIP
yang tersohor yang letaknya dekat dengan Fakultas Psikologi. “Hmm... Nasi alo
tuh apa sih, say?” tanya Manda sambil membaca menu yang tertempel di salah satu
stand makanan. “Seperti nasi goreng tapi nggak pakai kecap,” jawab Ical, “Di
atasnya dicampur ayak telor dan baso, plus sambel ulek yang enak banget! Coba,
deh!” Setelah memesan menu dan membayar di kasir, mereka membawa makanan mereka
ke lantai atas untuk mencari tempat duduk, sebab lantai bawah sudah penuh sesak
oleh lautan mahasiswa. Namun, saat Manda sedang mencari tempat duduk di lantai
atas, matanya menangkap sosok itu. Dengan kemeja putih polos, celana jeans,
kalung manik yang oriental, dan tatanan rambut yang diikat tinggi dengan poni
menyamping, ia duduk dengan begitu sempurnanya. Ratih.
***
“Pokoknya,
aku minta putus!”
Manda
mengamuk. Apalagi setelah ia melihat Ratih berdiri dan menghampiri Ical di
Takor tadi. Lengkap dengan bonus cupika-cupiki tanpa memperdulikan Manda sama
sekali. “Aku sayang kamu,” Ical bersikeras, “Aku nggak akan lepaskan kamu!” “Kamu
harus putusin aku!” kata Manda ngotot. “Kenapa?” Ical tak mengerti.
“Biar fair.
Kamu punya mantan, sedangkan aku nggak. Kalau kamu putusin aku, aku bakal cari
cowok lain dan mutusin dia dalam waktu singkat. Setelah itu, kedudukan kita
fair! Kamu bisa ngerasain cemburu yang aku rasain ke Ratih!” “Kamu gila, Manda!”
Ical terdengar frustasi, sebelum akhirnya berkata, “Oke, fine. Kita putus!”
***.
Seminggu
kemudian...
Ical
memasang muka memelas, “Aku mau kamu balik lagi sama aku, Manda. Aku nggak bisa
terus-terusan menderita karena rasa rindu yang gak terobati ini.” “Kamu tuh
bodoh banget, sih, Cal?” Manda terlihat tak percaya, “Ratih, si wanita sempurna
itu, masih sayang banget sama kamu! Kamu tau nggak?” “Nggak!” Ical menjawab
cepat, “Aku nggak tau dan aku nggak mau tau apa-apa mengenai Ratih.” Ical
menatap mata Manda dalam-dalam dan berbisik lembut, “Aku cuma tau bahwa aku
sayang kamu!”
Seketika,
Manda terdiam. Ia melihat kesungguhan di mata Ical. “Oke, aku mau balik sama
kamu” jawab Manda sambil tersenyum. Sambil mengedipkan sebelah matanya ia
berkata, “Setidaknya aku udah pernah ngerasain rasanya punya mantan!” “Hah?”
Ical langsung membelalak cemburu, “Jadi selama seminggu kamu putus sama aku,
kamu udah bisa punya mantan lagi?” Manda tergelak, “Iya.”
“Siapa?” Manda
terdiam dan memandang mata Ical sambil tersenyum simpul, “Kamu...”
Tamat.
Cinta Diantara Mega
Olga
Sejak
obrolannya dengan Anya yang tidak tuntas itu, Ren jadi penasaran. Menghitung
ketidaksetiaan Lufi tentu saja mustahil. Lufi rajin apel malam minggu. Mereka
juga sering ketemu di sanggar lukis. Jadi mana mungkin Lufi sibuk lagi dengan ‘yang
lain’ kecuali di kampus? Segala maha karya Ilahi terbentang dalam penglihatan
Ren dari jendela pesawat yang lima belas menit lalu lepas landas dari bandara
Sepinggan. Awan putih berlapis-lapis, langit biru terkuak di sela-selanya, laut
hijau membiru di bawah sana. Dengan buih-buih ombak yang saling berbenturan.
Kapal-kapal lintas pulau, tongkang-tongkang pengangkut batu bara atau rig-rig
perusahaan minyak asing semakin mengecil dan mulai menghilang. Menyisakan
titik-titik hitam saat pesawat terus mendaki menuju ribuan kaki di atas
permukaan laut. Sayangnya segala keindahan yang terhampar itu, yang biasanya
menggoda Ren untuk menghasilkan coretan-coretan draft lukisnya, kali ini tak
mampu mengubah hati Ren yang tengah muram. Rasanya malas sekali untuk kembali ke
Jakarta setelah berlibur dengan luka hati. Huhhh, mengingat kembali apa yang
terjadi tiga minggu lalu membuat Ren kembali terpuruk, merasa kerdil, dan
konyol.
Lufi jalan
dengan cewek, itu biasa. Ia tidak mungkin mengubah sifat Lufi yang friendly-easy
going-helpful seperti membalikkan telapak tangan. Justru itulah sifat-sifat
Lufi yang membuatnya tertarik dulu. Tak mungkin mengerangkeng Lufi untuk patuh
mengikut ke mana pun Ren pergi atau meminta Lufi untuk tidak menengok kiri
kanan jika sedang jalan bersamanya. Ah, setelah kejadian itu, masihkah ia
menganggap Lufi sebagai pacar? Setelah kebebasan demi kebebasan yang ia berikan
untuk Lufi, apa balasan yang diterima Ren?
“Baru kali
ini gue nemuin cewek yang berjiwa besar seperti kamu, Ren. Cowokmu wara-wiri
kesana kemari dengan WIL-WIL didiemin aja.”
“Apa
maksudmu, Anya? Burung selalu punya insting untuk kembali ke kandang. Kenapa
harus kuatir? Cinta Lufi hanya untuk gue. Sudah terbukti setahun ini bukan?”
ujar Ren pada Anya, teman satu kosnya.
“Kalo
maksudmu itu si Lufi. Gue no comment-lah. Lufi kan bukan burung!”
“Nya, itu
perumpamaan tau! Lufi itu udah bosen pacar-pacaran gak karuan. Ia
sudah
sepakat untuk serius denganku kali ini."
“Jaman gene,
kamu masih percaya sama janji gombal? Yang tahunan married aja bisa cerai
apalagi yang… whatever-lah. Yang ngejalanin kan kamu, gue gak bisa terlalu ikut
campur, soalnya….” Anya hanya menggantung jawabannya sambil keluar kamar.
Sejak
obrolannya dengan Anya yang tidak tuntas itu, Ren jadi penasaran. Menghitung
ketidaksetiaan Lufi tentu saja mustahil. Lufi rajin apel malam minggu. Mereka
juga sering ketemu di sanggar lukis. Jadi mana mungkin Lufi sibuk lagi dengan ‘yang
lain’ kecuali di kampus? Rasanya tidak juga. Bukankah sesekali mereka pun
sering makan bareng di kantin.
“Aku nih
udah bosen plarak-plirik cewek, Ren. Yang kucari sekarang calon istri, bukan
cem-ceman. Cem-ceman itu cuma bisanya bikin bangkrut doang. Beda sama calon
istri yang pasti lebih care sama urusan perduitan. Ya gak?”
“Jangan
gombal di siang bolong ah,” cetus Ren, waktu itu.
“Terserah
kamu mau bilang apa. Ini bukan gombal, tapi ungkapan rasa yang sebenarnya.”
Nah, itulah
deret kalimat Lufi yang makin membuat Ren yakin kalau Lufi tidak bakal
aneh-aneh saat melangkah bersamanya.
Kini…
Mega putih
di luar laksana kanvas yang siap dilukis. Oh, bahkan tak perlu sibuk lagi untuk
melukis karena kanvas itu tidak lagi kosong. Dengan jelas terpampang
pemandangan Lufi yang tengah berpelukan dengan Diandra.
Ren merasa matanya
basah. Untunglah dua penumpang di sampingnya tengah tidur pulas. Para pramugari
juga sudah selesai membagikan air mineral dan roti barusan.
Setengah
mati Ren merasa tubuhnya kejang dan aliran darahnya seperti berhenti mengalir.
Kelas kosong dengan puluhan kursi dan dinding bercat krem itu seakan menjadi
saksi bisu akan adanya sebuah dusta. Kebohongan yang pada akhirnya terkuak
karena keadaan, bukan karena berita yang terbesit selalu di telinganya. Tiga
jiwa seolah saling kait dan berkontroversi dalam diam mereka. Ren shock.
Diandra Pias terlihat. Ren merasa jiwanya kering. Cinta yang selalu disiramnya
dengan doa dan harapan tulus untuk selalu setia bersama Lufi perlahan menguap.
Menciptakan serpihan kabut yang menghilang karena terik matahari.
Lufi? Cowok
itu masih sempat tersenyum dan melambaikan tangan. Inikah Lufi-nya yang selalu
care? Masihkan ada perasaan malu, bersalah atau sadar telah melukai hati Ren?
Ren tidak melihat itu ada pada diri Lufi saat itu. “Hai, Ren. Diandra ultah
hari ini jadi aku….”
Ren tidak
sempat mendengarkan kelanjutan omongan cowok itu. Ia sudah kadung melesat
keluar kelas Lufi. Sepasang kaki yang letih membawanya ke taman untuk merenung
dan introspeksi. Seharusnya ia tidak perlu datang mencari Lufi ke kelasnya
hanya untuk sekedar memberi kejutan. Seharusnya Lufi tidak perlu memeluk
Diandra sedemikian mesra di kelas yang kosong kalau cuma ingin mengucapkan
selamat ulang tahun. Seharusnya mereka tidak perlu sampai setahun menapaki
hari-hari yang katanya penuh cinta.
Seharusnya
ia percaya pada Anya yang selalu memberinya peringatan. Sebongkah bual yang
amat besar terkuak! Diremasnya kado yang terbungkus kertas bergambar hati.
Isinya puisi. Tentang keteguhan cintanya untuk Lufi meskipun banyak selentingan
miring yang terdengar. Pphuuh. Goblok sekali! Untunglah Ren bisa segera
melarikan diri pulang kampung. Rumah Bundanya di Balikpapan terasa amat nyaman
ketimbang kemarin-kemarin. Ia bisa tidur sampai puas untuk melupakan hatinya
yang retak-retak.
“Patah hati
itu biasa, Ren. Percaya sama Bunda, dua tiga minggu lagi, kamu lupa sama Lufi.
Apalagi kalau nanti kamu sibuk sama urusan kuliah dan lukis. Justru kalau kamu
sudah pernah ngalami patah hati, kamu jadi lebih selektif memilih cowok. Jangan
cuma lihat gantengnya saja. Lihat sikap sifatnya, hatinya. Tapi juga jangan
jelek-jelek amat ya, Ren. Ha ha ha….”
“Ah, Bunda
ini…”
“Lho, iya.
Manusia itu diciptakan untuk berpasangan. Berarti sebenarnya jodoh kamu itu
sudah ada, cuma siapa…? Itu yang kita belum tahu.” Cara Bunda mengupas
masalahnya membuat Ren sedikit terobati. Paling tidak selama menenangkan diri
di sini, ia bisa kembali menikmati jalan-jalan ke pantai Melawai. Makan coto
makassar di Pandansari atau menikmati sup singkong makanan khas disini.
Sesekali ia mengunjungi teman-teman lamanya yang memilih kuliah di Samarinda.
Not bad. Paling tidak saat ia pulang nanti, hatinya sudah lumayan pulih dari
sebelumnya. Lagipula Balikpapan cukup ramah kali ini, matahari beberapa kali
tersembunyi di balik naungan awan sehingga tidak menyengat bila bepergian.
Hujan pun
turun beberapa hari belakangan ini, menciptakan suasana yang teduh. Dan dalam
dua minggu itu Ren merasa ia lebih kuat. Apalagi ia sempat berjumpa Gema di
mal. Saling kangen dalam jabat tangan yang erat.
Gema.
Mantan
pacarnya sewaktu SMU.
“Kok ndak
nunggu sampai selesai semesteran baru pulang, Ren? Mentangmentang tiket
Jakarta-Balikpapan sudah murah ya?” goda Gema.
“Murah mahal
kan relatif, Gem. Kan ada yang sponsorin.”
“Lantas,
dalam rangka apa kamu pulang kampung?”
“Aku lagi
patah hati nih.” Dan entah mengapa, begitu mudahnya ia melontarkan segala
uneg-unegnya pada Gema di food court. Seakan ia menemukan tempat yang paling
tepat untuk memuntahkan segala kekecewaannya. Gema mengelus pundaknya. Lalu
tangannya. Berusaha memberikan spirit yang memang amat diperlukan oleh Ren.
“Huh, aku
kok jadi curhat begini sama kamu, Gem. Belum tentu kamu suka jadi konsultan
orang frustasi kan?”
Gema
memamerkan deretan gigi putihnya. Tawanya masih sama seperti dulu. “Seandainya
saja kamu percaya sama hubungan jarak jauh, Ren….”
“Maksudmu?”
Alis mata Ren bertaut dan tanpa diminta, ada rasa geletar tipis yang menyentuh
permukaan hatinya.
“Yaahh… Kita
putus karena lulus sekolah kan. Kamu berkeras hijrah ke
Jakarta,
sementara aku lebih milih Malang untuk meneruskan kuliah. Kalaupun itu terjadi,
paling kita hanya bisa jumpa di libur semester.”
Kembali Ren
merasa geletar tadi. Sulit dihalau karena kali ini lebih terasa. Apalagi Gema
berbicara sambil menatap matanya. Tatap tulus itu tidak pernah bisa ditolaknya.
Ya, mereka putus tanpa sebab apa-apa. Semua dikomunikasikan dengan baik. Hanya
saja, pilihan Bunda yang realistis, membuat Ren bertekad untuk kuliah di ibu
kota. Mereka putus karena Ren tidak menghendaki hubungan cinta jarak jauh yang
banyak resikonya. Tapi… luka ini….
Dua hari
bersama Gema sebelum kepulangannya ke Jakarta membuat hidup Ren lebih berwarna.
Paling tidak, ia mulai bisa menghitung ulang segala kebaikan Gema yang masih
belum berubah sampai sekarang. Gema memang tidak mengulang ucapan cintanya
seperti dulu, namun dari genggaman tangannya, Ren tahu kalau Gema ingin
menguatkannya untuk menghadapi hari esok di Jakarta. Ren biarkan itu mengalir
seperti apa adanya. “Ren, ini nomer hp-ku di Malang. Aku ndak tau apakah
setelah kau sampai di Jakarta nanti kau akan ingat untuk mengontakku. Tapi
siapa tahu, kau butuh teman untuk curhat? Aku setia untuk mendengarnya lho.”
Ren membaca
tulisan tangan Gema sekarang. Tidak pernah rapi, sama seperti dulu. Tapi Ren
sudah teramat hafal dengan lekuk-lekuknya. Ia mengalihkan pandang ke luar
jendela kembali. Mega-mega masih berarak. Masih berlapis-lapis tipis tebal.
Namun kali ini Ren melihatnya dengan tatap yang berbeda. Kumpulan mega itu
seakan mencetak wajah Gema dengan ketulusan hatinya. Semangat Gema seakan
menular kepadanya. Ren tidak mau berharap terlalu muluk, meskipun ia mulai
berdoa, semoga masih ada cinta di sana.
Dua puluh
menit lagi, pesawat yang ditumpangi Ren akan mendarat di Bandara Soekarno-Hatta.
Ia lebih mantap untuk melangkah sekarang. Malah kalau boleh, Ren ingin
cepat-cepat landing agar bisa segera mengaktifkan ponselnya. Mungkin Gema sudah
siap untuk mendengar kisruh hatinya kali ini.
Bukan. Bukan
karena Lufi. Tetapi karena Gema sendiri.
Tamat
No comments:
Post a Comment